Fikih Puasa Ramadhan
Oleh: Drs. Hamzah Johan
Sebelum memasuki Puasa
Ramadhan, umat Islam selalu diingatkan untuk mengetahui dan memahami tentang
Fikih Puasa Ramadhan tersebut agar ibadah puasanya sesuai dengan syari’at
Islam. Fikih Puasa Ramadhan ini saya susun sebagai berikut :
A.
Penentuan Awal dan akhir bulan Ramadhan (bulan puasa)
Untuk menentukan awal dan
akhir bulan Ramadhan, berpedoman pada Keputusan Fatwa MUI (Majelis Ulama
Indonesia) nomor 2 tahun 2004 tentang PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH.
Pada fatwa tersebut ditetapkan, antara lain: 1. Penetapan awal Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh
Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional. 2.Seluruh umat
Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. 3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal,
dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama
Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
B.
Arti puasa
Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash
Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم).
Secara bahasa Ash
Shiyam artinya adalah al
imsaak (الإمساك) yaitu menahan diri. Sedangkan secara istilah, ash
shiyaam artinya:
beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum dan
pembatal puasa lainnya, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
C.
Hukum puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan
hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al
Baqarah: 183).
Dan juga karena
puasa ramadhan adalah salah dari rukun Islam yang lima. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima rukun:
syahadat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, menegakkan shalat, membayar
zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari – Muslim).
D.
Keutamaan puasa
1.
Puasa adalah ibadah yang tidak ada
tandingannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada Abu Umamah Al Bahili:
“hendaknya
engkau berpuasa karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya”
(HR. Ahmad, An Nasa-i. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih
An Nasa-i)
2.
Puasa akan memberikan syafaat di hari kiamat.
“Puasa
dan Al Qur’an, keduanya akan memberi syafaat kelak di hari kiamat”
(HR. Ahmad, Thabrani, Al Hakim. Al Haitsami mengatakan: “semua perawinya
dijadikan hujjah dalam Ash Shahih“).
3.
Puasa adalah sebab masuk ke dalam surga
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “di surga ada delapan pintu, diantaranya ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “di surga ada delapan pintu, diantaranya ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari).
E.
Hikmah disyariatkannya puasa
1.
Puasa adalah wasilah untuk mengokohkan
ketaqwaan kepada Allah
2.
Puasa membuat orang merasakan nikmat dari
Allah Ta’ala
3.
Mendidik manusia dalam mengendalikan
keinginan dan sabar dalam menahan diri
4.
Puasa menahan laju godaan setan
5.
Puasa menimbulkan rasa iba dan sayang kepada
kaum miskin
6.
Puasa membersihkan badan dari elemen-elemen
yang tidak baik dan membuat badan sehat
F.
Rukun puasa
1. Menahan
diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
2. Menepati
rentang waktu puasa (dari terbit fajar hingga terbenam matahari)
G.
Syarat sah puasa
1.
Islam 2. Baligh, 3. Berakal, 4. Muqim (tidak
sedang safar), 5. Suci dari haid dan nifas, 6. Mampu berpuasa, 7. Niat
H.
Sunnah-sunnah ketika puasa
1.
Sunnah-sunnah terkait makan
sahur
a.
Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah.
Dianggap sudah makan sahur jika makan atau minum di waktu sahar,
walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan sahur itu terdapat keberkahan
b.
Disunnahkan mengakhirkan makan sahur
mendekati waktu terbitnya fajar, pada waktu yang tidak dikhawatirkan datangnya
waktu fajar ketika masih makan sahur.
c.
Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma
kering).
2.
Sunnah-sunnah terkait
berbuka puasa
a.
Disunnahkan menyegerakan berbuka
b.
Berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab (kurma
segar), jika tidak ada maka dengan beberapa butir tamr (kurma
kering), jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air putih
c.
Berdoa ketika berbuka dengan doa yang
diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
I.
Orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa
1.
Orang sakit yang bisa membahayakan dirinya
jika berpuasa. Kewajiban qadha atau tidak, orang sakit dibagi menjadi 2 macam:
a.
Orang yang sakitnya diperkirakan masih
bisa sembuh, maka wajib meng-qadha ketika sudah mampu untuk menjalankan puasa.
Ulama ijma akan hal ini.
b.
Orang yang sakitnya diperkirakan tidak bisa
sembuh, maka membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari
yang ditinggalkan. Diqiyaskan dengan keadaan orang yang sudah tua renta tidak
mampu lagi berpuasa. Ini disepakati oleh madzhab fikih yang empat.
2.
Musafir.
3.
Orang yang sudah tua renta dan tidak lagi
mampu untuk berpuasa. Wajib bagi mereka untuk membayar fidyah kepada satu
orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.
4.
Wanita hamil dan menyusui. Ulama berbeda
pendapat mengenai apa kewajiban wanita hamil dan menyusui ketika meninggalkan
puasa.
a.
Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup
membayar fidyah tanpa qadha, ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani.
b.
Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup
meng-qadha tanpa fidyah, ini dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Al
Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah, juga pendapat Hanafiyah
dan Malikiyah.
c.
Sebagian ulama madzhab juga berpendapat
bagi mereka qadha dan fidyah jika meninggalkan puasa karena khawatir akan
kesehatan si bayi.
5.
Orang yang memiliki sebab-sebab yang
membolehkan tidak berpuasa, diantaranya:
a.
Orang yang pekerjaannya terasa berat. Orang
yang demikian tetap wajib meniatkan diri berpuasa dan wajib berpuasa. Namun
ketika tengah hari bekerja lalu terasa sangat berat hingga dikhawatirkan dapat
membahayakan dirinya, boleh membatalkan puasa ketika itu, dan wajib
meng-qadha-nya di luar Ramadhan.
b.
Orang yang sangat kelaparan dan kehausan
sehingga bisa membuatnya binasa. Orang yang demikian wajib berbuka dan
meng-qadha-nya di hari lain.
c.
Orang yang dipaksa untuk berbuka
atau dimasukan makanan dan minuman secara paksa ke mulutnya. Orang
yang demikian boleh berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain dan ia
tidak berdosa karenanya.
d.
Mujahid fi sabilillah yang sedang berperang di
medan perang. Dibolehkan bagi mereka untuk meninggalkan berpuasa. Berdasarkan
hadits: “sesungguhnya musuh
kalian telah mendekati kalian, maka berbuka itu lebih menguatkan kalian, dan
hal itu merupakan rukhshah” (HR. Muslim).
J.
Pembatal-pembatal puasa
1.
Makan dan minum dengan sengaja, 2.Keluar mani
dengan sengaja, 3.Muntah dengan sengaja, 4.Keluarnya darah haid dan nifas, 5.Menjadi
gila atau pingsan, 6.Riddah (murtad), 7.Merokok, 8.Jima
(bersenggama) di tengah hari puasa. Selain membatalkan puasa dan wajib
meng-qadha puasa, juga diwajibkan menunaikan kafarah membebaskan seorang budak,
jika tidak ada maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka
memberi makan 60 orang miskin.