POLITIK KOLONIAL BELANDA TERHADAP ISLAM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
(Studi pemikiran Snouck Hurgronye)
Effendi∗
Abstrak
Telah banyak
kajian yang membahas politik kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia,
tetapi masih sedikit yang membahas tentang pemikiran arsiteknya. Diantara
arsiteknya yang cukup terkenal dan sangat disegani dan diperhitungkan pada
masanya adalah Dr. Snouck Hurgronye. Sebelum kedatangan Snouck di Indonesia,
kebijaksanaan-kebijaksanaan Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia
tidaklah memiliki arah yang jelas. Hal ini disebabkan miskinnya pengetahuan
Kata
Kunci : Politik, Kolonial Belanda, Islam
Pendahuluan
Islam di Indonesia, sejak kedatangannya sudah memainkan
peranan politik dan ideologis yang sangat penting dan menentukan bagi jalannya
sejarah Indonesia. Pentingnya arti politik Islam di Indonesia, sebagian besar
berakar pada kenyataan bahwa di dalam Islam batas antara agama dan politik
sangatlah tipis. Islam adalah sebagai Way
of Life dan agama; dan meskipun di Indonesia proses pengislaman merupakan
suatu proses setahap demi setahap, namun
Dosen Fakultas Ushuluddin, Prodi Pemikiran
Politik Islam.
kandungan politik yang ada di dalamnya
sudah terasa sejak awal perkembangannya.[1]
Berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara
berlangsung selama beberapa abad, hal ini merupakan suatu proses yang
terus-menerus hingga sekarang belum selesai. Rupanya sudah sejak awal abad
ke-13 berdiri suatu kerajaan Islam di pintu gerbang Indonesia utara pulau
Sumatera. Lalu menyusul dinasti-dinasti yang memerintah pulau tersebut memeluk
agama Islam, di antaranya Aceh yang memainkan peranan penting dalam sejarah
Islam di Indonesia. Sekitar permulaan abad ke-15, Islam telah memperkuat
kedudukannya di Malaka yang merupakan pusat rute perdagangan Asia Tenggara.
Dari sini Islam melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah Indonesia lainnya,
sehingga sampai permulaan abad ke-17, secara geografis Islam telah menguasai
sebagian besar kepulauan Indonesia.
Oleh H.J. Benda dianggap bahwa kemenangan Islam ini luar
biasa, sebab pembawa agama Islam ke Indonesia bukanlah para penakluk yang
menyebarkan Islam dengan kekerasan seperti di bagian dunia lainnya, melainkan
para pedagang muslim dari India yang bersemangat damai. Mereka datang ke
Indonesia karena tertarik oleh perdagangan rempah-rempah di Indonesia yang
banyak memberikan keuntungan. Dimulai dengan membentuk koloni-koloni dagang
Islam di daerah hulu sungai dan kota-kota pesisir kepulauan Indonesia, lalu
berkembang menjadi vassal-vasal Islam yang seringkali terkenal karena kekayaan
dan semangat dakwahnya yang tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong para
aristokrat Indonesia tertarik kepada Islam. Bagi golongan ini, memeluk agama
Islam menjadi menarik secara ekonomis dan menguntungkan secara politis. Ini
berarti bahwa menganut Islam merupakan senjata bagi mereka untuk menghadapi
musuh baik dari luar maupun dari dalam.[2]
Dengan demikian, gelombang pertumbuhan dan perkembangan
Islam di Indonesia, bukan saja mampu memasuki pola sosial Indonesia, namun
lebih dari itu Islam mampu memainkan peranan politik yang penting dan
menentukan di Indonesia. Gelombang itu datangnya terutama dari pusat-pusat
Islam yang secara cepat dan potensial menjadi basis anti penjajah.
Masuknya bangsa-bangsa Barat ke Indonesia, menghadapi
kenyataan bahwa Islam telah menjadi kekuatan politik yang harus diperhitungkan.
Meskipun masuknya Islam tidak dengan sendirinya mempersatukan perlawanan orang
Indonesia terhadap bangsa-bangsa Barat, kebanyakan perlawanan yang dijumpai
menggumpal sekitar umat Islam. Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, ideologi
Islam memang merupakan kekuatan sosial yang besar sekali dalam mengadakan
perlawanan terhadap kekuasaan asing. Baik perang besar seperti Perang Paderi
dan Perang Aceh, maupun pemberontakanpemberontakan petani seperti peristiwa
Cilegon dan Cimareme, kesemuanya dipimpin oleh pemuka Islam dan dijiwai oleh
ideologi
Islam.[3]
Walaupun orang Islam Indonesia kepercayaannya masih banyak
bercampur dengan kepercayaan Animisme, Hindu dan Budha, mereka tetap menganggap
bahwa agamanya merupakan alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang
lain. Dalam kenyataannya memang Islam di Indonesia berfungsi sebagai titik
pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan
asing.[4]
Maka dari itu tidak mengherankan apabila seorang Belanda yang simpati terhadap
perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Dr. Dowes Dekker pernah berkata: “Kalau
tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya
lenyap dari bumi
Indonesia.”[5]
Mengenal Snouck Hurgronye sebagai Peletak Dasar
Politik Kolonial Belanda
Sampai akhir abad ke-19 Belanda telah kaya dengan
pengalaman pahit dalam menghadapi kekuatan Islam di Indonesia. Sejak
kedatangannya pada akhir abad ke-16 di Indonesia, Belanda senantiasa menghadapi
kenyataan bahwa Islam selalu menjadi penghalang cita-citanya. Hal ini tidak
mengherankan, sebab sebagian besar penduduk daerah yang dijajahnya di kepulauan
Indonesia ini beragama Islam, motif aneka perlawanan terhadapnya, bagaimana pun
jarang terlepas dari kaitan ajaran agama ini. Sejarah telah membuktikan selama
abad ke-19 saja, Kolonial Belanda cukup sibuk menghadapi
pemberontakan-pemberontakan yang kebanyakan dilancarkan sebagai “perang sabil”
atas nama Islam. Tercatat pemberontakan-pemberontakan yang terkenal pada abad
ini antara lain, Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro
(1825-1830) di Jawa Tengah dan yang terlama adalah
Perang Aceh dari tahun 1871-1912.[6]
Pemberontakan-pemberontakan tersebut cukup membahayakan dan
sempat mengancam kelangsungan hidup penjajahan Belanda di Indonesia, di samping
tidak kecil kerugian-kerugian yang diderita Belanda karenanya. Maka dari itu
wajarlah apabila Belanda yang menginginkan kelestarian penjajahannya berusaha sekuat
tenaga menjinakkan dan sekaligus melumpuhkan Islam sebagai kekuatan politik di
Indonesia yang dapat membahayakan penjajahannya di negara tersebut.
Sejalan dengan usahanya untuk menguasai medan jajahan
itulah, Islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. Hal ini terbukti
dengan diselenggarakannya pendidikan “Indologie” untuk mengenal lebih jauh
seluk-beluk pribumi Indonesia. Melalui usaha tersebut diharapkan bisa
dihasilkan pegawai-pegawai yang cakap dalam mengurus dan mengendalikan
administrasi pemerintah jajahannya di Indonesia. Kebijaksanaan Kolonial Belanda
dalam menangani masalah Islam ini, sering disebut dengan istilah “Islam
Politiek”, yakni kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola
masalah-masalah Islam di Indonesia. Untuk ini Christian Snouck
Hurgronje dipandang sebagai peletak
dasarnya.[7]
C.S. Hurgronje adalah anak seorang Pastur Gereja
Gereformeerd (Calvinist), ia lahir pada tanggal 8 Februari 1857. Pada usia 18
tahun ia masuk Fakultas Theologi Leiden. Setelah lulus kandidat examen,
kemudian ia pindah ke Fakultas Sastra jurusan Arab. Setelah berhasil meraih
gelar Doktor dalam bidang Sastra Semit (1880) ia menjadi dosen di Leiden, dalam
Institut yang mempersiapkan pegawaipegawai Belanda untuk Indonesia (Indologie).
Jabatan tersebut dipegangnya sampai tahun 1887. Selama itu pula ia menyelidiki
Fiqih
(Hukum Islam), biografi Nabi Muhammad SAW dan Sejarah
Islam.[8]
Pada tahun 1889, Snouck pergi ke Indonesia dengan tugas meneliti suku Aceh,
bahkan terus menetap di Jakarta untuk meneliti masalah Islam di Jawa. Kemudian
pada tanggal 15 Maret 1891 ia diangkat menjadi penasehat bahasa-bahasa Timur
dan Hukum Islam, hingga tanggal 11 Januari 1899 ia menjabat sebagai penasehat
urusan
Arab dan pribumi.[9]
Sebelum kedatangan Snouck di Indonesia,
kebijaksanaankebijaksanaan Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia
tidaklah memiliki arah yang jelas. Hal ini disebabkan miskinnya pengetahuan
Kolonial Belanda tentang Islam dan Indonesia, atau mungkin “buta” sama sekali.
Pada masa itu kebijaksanaan Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia,
secara tradisional dibentuk oleh kombinasi yang kontradiktif antara ketakutan
dan pengharapan yang berlebihlebihan.[10]
Di satu pihak pemerintah Kolonial Belanda sangat takut
terhadap muslim fanatik yang mempunyai hubungan dengan dunia internasional,
termasuk bahaya permintaan bantuan kepada negara Islam di luar negeri. Rejim
Belanda di Indonesia sangat takut terhadap sesuatu yang berbau Pan Islamisme.
Islam dibayangkannya sebagai sebuah agama yang diorganisir secara rapi; di
dalam banyak hal dianggap serupa dengan agama Katholik Roma yang memiliki
susunan kebiaraan hirarchis yang bersekutu dengan Sultan Turki. Akibatnya,
Islam di mata penjajah Belanda nampak sebagai musuh yang menakutkan, maka tidak
mengherankan apabila pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu bertindak
sangat membatasi ruang gerak umat Islam di Indonesia; terutama dalam hal pergi
haji ke Makkah yang dianggapnya sebagai biang keladi yang menimbulkan agitasi
dan pemberontakan di Indonesia.[11]
Di lain pihak, Kolonial Belanda terlalu besar harapannya
untuk menghilangkan pengaruh Islam secara cepat melalui proses Kristenisasi,
sebab dalam anggapannya agama Kristen lebih unggul dari agama Islam; di samping
banyaknya orang Islam Indonesia yang bersifat sinkretis, dianggapnya akan mudah
untuk di-Kristen-kan, maka pemerintah Kolonial Belanda pun berupaya untuk
menyukseskan kerja para Missionaris Kristen di Indonesia dengan jalan memberi
subsidi dan kemudahan-kemudahan beroperasi. Karena seperti diketahui,
pemerintah Belanda pada waktu itu sedang berada dalam tekanan partai-partai
agama di parlemen. Mereka menuntut supaya Hindia Belanda dibuka untuk kegiatan
missi baik Roma Katholik maupun Protestan untuk sama-sama beroperasi di
Indonesia.[12]
Ternyata kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibentuk oleh
kombinasi yang kontradiktif tersebut, tidak membawa hasil yang menggembirakan
bagi Kolonial Belanda. Tindakan pembatasannya terhadap ruang gerak umat Islam,
menurut H.J. Benda: Tidak membawa hasil yang produktif. Meskipun pemberontakanpemberontakan
besar di bawah panji Islam dapat dihentikan, akan tetapi frekuensi
pemberontakan petani di bawah komando pemimpin Islam setempat meningkat.
Walaupun missionaris-missionaris Kristen mendapat dukungan-dukungan dana dan
kemudahan-kemudahan dari pemerintah, agama Kristen hanya mampu meluaskan
dirinya secara lambat, itu pun hanyalah di kalangan orang-orang Indonesia yang
tinggal di daerah-daerah yang belum tersentuh agama Islam.[13]
Kegagalan kebijaksanaan Belanda sebelum
kedatangan Snouck tersebut disebabkan oleh tempat berpijaknya atau landasannya
yang lemah, yakni tidak menggunakan fakta-fakta yang obyektif.
Formulasi Pemikiran Snouck Hurgronye
tentang Politik Kolonial
Belanda terhadap Islam di Indonesia
Lain halnya setelah kehadiran Snouck Hurgronje,
kebijaksanaan-kebijaksanan politik Belanda terhadap Islam di Indonesia mulai
didasarkan pada landasan ilmiah yang mengutamakan fakta-fakta obyektif. Snouck
memang merupakan negarawan Belanda yang benar-benar besar dan ahli mengenai
masalah penjajahan. Pengetahuannya yang mendalam tentang Islam di Indonesia,
telah mendorong pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1889 mengangkatnya
menjadi penasehat pada sebuah kantor pemerintah yang menangani masalah-masalah
Arab dan pribumi.[14]
Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan Aceh, sarjana sastra Semit yang
mempunyai andil besar dalam penyelesaian Perang Aceh ini telah berhasil
menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan terhadap Islam di Indonesia.
Analisanya tentang Islam di Indonesia, telah membuat Snouck
mampu memformulasikan Politik Islamnya. Agaknya dengan menampilkan Politik
Islamnya, ia berhasil dalam seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian
besar muslim itu. Dialah “arsitek” keberhasilan Politik Islam yang paling
“legendaris” yang telah melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama
di bidang sosial dan politik. Kehadirannya betul-betul telah membuka lembaran
baru bagi sejarah penjajahan Belanda dalam menghadapi Islam di
Indonesia.[15]
Sarjana orientalis ini telah melawan ketakutan Belanda
terhadap Islam baik di tingkat internasional maupun lokal; di samping tidak
membenarkan harapan yang berlebihan akan keberhasilan Kristenisasi terhadap
umat Islam di Indonesia.[16]
Diingatkannya, bahwa dalam Islam tidak dikenal lapisan kependetaan seperti
dalam agama Kristen. Kemudian ditegaskannya pula bahwa para pemimpin agama –
kyai dan ulama – di Indonesia tidaklah lebih sebagai anggota semacam jabatan
keagamaan saja. Pan Islamisme yang dianggap begitu berbahaya, sebenarnya
hanyalah suatu ide yang kabur dan bukan merupakan realitas politik yang dapat
disamakan dengan khalifah. Pemerintah Turki sendiri telah lama menguburkan
program Pan Islamisme di dalam museum barang-barang antic politiknya. Kemudian
ditegaskannya juga bahwa para alim ulama di Indonesia tidak apriori bermusuhan dengan pemerintah
kolonial. Juga orang yang dari naik haji tidak lantas dengan sendirinya menjadi
orang yang fanatik dan pemberontak.
Namun begitu, Snouck tetap memperingatkan agar Islam baik
sebagai kekuatan politik maupun religius jangan dipandang rendah. Di sini ia
menolak harapan-harapan yang keliru dari teman-teman senegerinya (golongan
agama), dengan menegaskan “kaum abangan”, walaupun ke-Islamannya tidak murni,
tetap menganggap dan merasa bahwa dirinya benar-benar sebagai orang Islam yang
taat menurut versi imannya. Oleh karena itu Snouck tidak membenarkan harapan
yang terlalu optimis bahwa mereka itu akan dengan mudah di-Kristenkan. Bahkan lambat
atau cepat proses Islamisasi mereka akan berjalan terus baik segi kualitas
maupun kuantitasnya.[17]
Dalam pandangan Snouck, pada hakekatnya orang Islam
Indonesia itu penuh damai. Namun dia tidak menutup mata terhadap kemampuan
politik fanatisme Islam. Baginya, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai
agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Walaupun begitu ia tidak
menganggap sepi terhadap kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulkan bahaya
terhadap kekuatan dan kekuasaan Kolonial Belanda.[18]
Di samping itu, Snouck juga berkeyakinan bahwa Islam,
walaupun oleh penganutnya dipandang sebagai suatu keutuhan, sebenarnya terbagi
atas tiga lapangan aktivitas: Keagamaan “murni” atau ibadat, kemasyarakatan dan
kenegaraan. Oleh karena itu dia menyarankan kepada pemerintah Kolonial Hindia
Belanda agar dalam menghadapi Islam, semestinya bersikap netral, sedang
terhadap bidang kemasyarakatan, jika mungkin dibantu kelancarannya, tetapi
terhadap Islam yang bernafaskan politik atau kenegaraan, pemerintah harus keras
dan tegas, jangan sampai diberi kesempatan kemungkinan munculnya aspirasi
politik yang bersumber dari agama, apalagi yang menganut panggilan Pan
Islamisme.[19]
Ketiga formulasi tersebut didasarkan pada pertimbangan,
bahwa orang Islam baru besar bahayanya bagi pemerintah jajahan apabila mereka
merasa kebebasan menjalankan agamanya terganggu. Orang Islam, apabila dilarang
mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan “ubudiyah”, mereka akan semakin
fanatik mengerjakannya. Lebih berbahaya lagi apabila mereka itu terus
mengasingkan diri dari masyarakat ramai dan mendirikan perkumpulan-perkumpulan
dengan mengobarkan “perang sabil”, maka dari itu lebih baik mereka diberi
kebebasan beribadah agar tidak tumbuh di hati mereka, bahwa mereka diperintah
oleh bangsa yang beragama lain. Kemudian biarkan mereka menjalankan urusan
kemasyarakatannya; seperti urusan perkawinan, warisan dan lain-lain. Dalam perkara
ini biarkan mereka diurus oleh kepala-kepala mereka sendiri, agar mereka merasa
undang-undang kemasyarakatannya dijalankan dan tidak tumbuh cita-cita
kenegaraan menurut pemerintahan Islam. Kemudian hendaklah anak-anak orang Islam
diberikan pendidikan Barat yang dapat menjauhkan mereka dari agamanya, sampai
terpenuhi harapan untuk menyatukan perasaan mereka dengan pemerintah, sehingga
terbentuklah suatu “asosiasi” (persekutuan). Apabila negoisasi tersebut
tercapai, maka diharapkan tidak ada lagi yang akan menyulitkan pemerintahan
Kolonial Belanda dari kaum muslimin dan akan tercapailah hubungan yang erat
antara pribumi dan penguasa Belanda.
Apabila urusan dalam sudah diatur seperti itu, tinggal lagi
yang harus dijaga adalah supaya jangan ada perhubungan dengan kaum muslimin di
luar negeri yang mungkin akan menimbulkan kembali semangat Pan Islamisme yang
berbahaya itu. Lantaran itu Snouck menasehatkan: “Jaga supaya jangan ada
pengaruh dari luar.”20
Politik yang dianjurkan Snouck tersebut adalah merupakan
bagian dari pandangannya mengenai masa depan Indonesia. Dia ingin menciptakan
masa depan Hindia Belanda yang modern dan maju. Karena itulah dia juga
menginginkan adanya proses ke arah “Indonesianisasi”. Melalui gagasannya ini,
penguasa Belanda di Indonesia didorong untuk memiliki rasa tanggung jawab moral
dalam mengangkat harkat penduduk tanah jajahannya, baik melalui pendidikan
Barat maupun melalui penyebarluasan kebudayaan Barat, sebab dia tidak menaruh
kepercayaan kepada Islam sebagai kekuatan yang dapat membawa kepada kemajuan.
Untuk melapangkan jalan ke arah terwujudnya cita-cita itu, sebaiknya kaum
aristocrat harus diajak dan diikutsertakan dalam kehidupan sosial budaya Barat,
sebab golongan ini dengan pemimpinnya dapat diharapkan akan mampu
20 M. Natsir, Capita
Selecta. (Bandung: NV.W. Van Hoeve, 1954), hal.
157-158
menjembatani jarak antara yang berkuasa
dengan yang dikuasai, sehingga pada akhirnya akan timbul budaya milik bersama.[20]
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa formulasi
politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia mencakup tiga
kebijaksanaan pokok yang dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama,
memecah-belah kekuatan Islam di Indonesia melalui politik “de vide et
empera” dengan sikap netral terhadap agama.
Kedua, mengikis habis pengaruh Islam dengan
memajukan kebudayaan Barat melalui pendidikan dan pengajaran, menuju
terciptanya “asosiasi” dan “Indonesianisasi”.
Ketiga,
menumpas tegas munculnya doktrin dan pergerakan politik Islam, terutama
yang dipengaruhi oleh ide-ide Pan Islamisme.
Pemikiran politik Islam Snouck Hurgronye
Menggoyahkan
Sendi-sendi
Penjajahan Belanda di Indonesia (analisa sejarah) Mengamati perjalanan
sejarah politik Kolonial Belanda terhadap Islam yang telah digariskan oleh
peletak dasarnya Snouck Hurgronje, setidaknya ada dua hal yang menarik.
Pertama, munculnya tokoh Snouck menjadi seorang negarawan Kolonial Belanda yang
paling “legendaries”; kedua, kenyataan yang dihasilkan oleh politiknya
bertentangan dengan apa yang diharapkan. Dari sini kita dapat menarik suatu
pelajaran seperti yang dikatakan oleh Prof. W.F. Wertheim ketika mengomentari
hasil karya Dr. H.J. Benda, bahwa: “Apapun politik terhadap Islam yang
dilancarkan oleh kekuasaan non Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang
ingin dikejar oleh kekuasaan tersebut.”;[21]
walaupun sang penciptanya orang yang paling unggul ilmunya mengenai Islam dan
paling lihai taktiknya dalam mengabdi penjajahan.
Seperti diketahui, Kolonial Belanda mempunyai cita-cita
yang memiliki jangkauan jauh ke depan. Lewat politiknya yang digariskan oleh
Snouck Hurgronje, Kolonial Belanda berharap akan dapat melenyapkan pengaruh
Islam dari bumi Indonesia demi kejayaan dan kelanggengan penjajahannya atas
Indonesia. Akan tetapi harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Ternyata
politiknya terhadap Islam melahirkan kenyataan-kenyataan pahit baginya.
Bukannya menghasilkan landasan yang kokoh buat melahirkan penjajahannya,
melainkan berakibat buruk “senjata makan tuan”, sebab hasilnya justru
menggoyahkan sendi-sendi penajajahannya sendiri di Indonesia, sehingga baru dua
dasawarsa berjalan segera dihentikan, karena dianggap tidak relevan.
Selayaknya, ada yang perlu diperhatikan dalam kita memberi
penilaian kepada hasil karya Snouck di Indonesia, yakni penilaian hanya akan
bermakna apabila aspek-aspek positif dan negatifnya ditinjau dalam konteks
jamannya. Seperti diketahui, Snouck dibesarkan dalam lingkungan cultural abad
ke-19, jaman Liberalisme angkuh yang penuh dengan superioritas Barat. Tidak
diragukan lagi, keyakinannya yang optimistik dan pandangannya yang “meremehkan”
Islam, semuanya berakar pada pemikiran abad ke-19 yang sekuler. Konsep asosiasinya
sendiri adalah produk tipikal pada masa itu dengan harapan idealistic yang
penuh keyakinan untuk menjembatani jurang yang memisahkan antara Timur dan
Barat,[22]
sehingga dia tidak mampu melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya pertumbuhan
dalam Islam.
Snouck terlalu meremehkan kemampuan Islam sebagai kekuatan
yang dapat membawa kepada kemajuan. Politik pecah-belahnya terhadap Islam
sebagai ajaran yang dijadikan sebagai landasan dan pangkal tolak bagi politik
Kolonial Belanda secara keseluruhan adalah “dangkal” walaupun kelihatannya
masuk akal. Islam sebagai agama yang lengkap dan universal tidak mudah untuk
dapat dipecah-belah. Pemisahan antara agama dan politik dalam Islam yang
dilakukan Snouck dapat dikatakan tidak realistis, sebab ternyata
keberhasilannya hanyalah terbatas pada saat Islam sedang dalam kemundurannya.
Seperti terbukti kemudian, politik pecah-belahnya baik
terhadap Islam sebagai ajaran maupun terhadap umatnya, walaupun dalam batas
tertentu memperlihatkan hasilnya; seperti munculnya sekelompok orang Islam
Indonesia yang menjadi “split personality” atau generasi baru Islam hasil
didikan Barat yang terpecah kepribadian Islamnya adalah buah dari politik
pecah-belah atau Splitsings Theorie
terhadap Islam sebagai ajaran yang lengkap dan utuh. Terkotak-kotaknya umat
Islam Indonesia kepada Islam abangan, santri dan priyayi; juga kepada modernis
dan tradisionalis, merupakan hasil dari politik pecah-belah terhadap umat
Islam. Akan tetapi semuanya itu tidak dapat menghambat tumbuhnya kesadaran
nasional Indonesia yang kemudian menjadi boomerang bagi Kolonial Belanda.
Tumbuhnya kesadaran tersebut sebagai akibat dari politik westernisasi dan
munculnya renesans Islam di Indonesia karena mendapat rangsangan dan pengaruh
dari kebangkitan Islam di luar negeri, khususnya Timur Tengah.
Kebangkitan Islam di Indonesia ditandai dengan
bermunculannya organisasi-organisasi Islam pada awal abad ke-20, seperti antara
lain: Syarekat Dagang Islam (SDI) yang berdiri tahun 1905, Muhammadiyah tahun
1912, Al-Irsyad tahun 1914, Persatuan Islam (PERSIS) tahun 1917, Nahdlotul
Ulama (NU) tahun 1926 dan lainnya.[23]
Organisasi-organisasi tersebut telah berupaya secara aktif menumbuhkan
kesadaran nasional di kalangan umat Islam Indonesia dalam rangka mengusir
penjajah. Dengan demikian kebangkitan tersebut telah membawa dampak positif
bagi perjuangan kaum muslimin di Indonesia; sebaliknya berakibat negatif bagi
kepentingankepentingan Kolonial Belanda.
Seperti diketahui, sebagian besar dari organisasi Islam
tersebut merupakan gerakan reformis Islam yang telah berusaha sekuat tenaga
untuk membendung gelombang westernisasi dan Kristenisasi yang dilakukan oleh
Kolonial Belanda terhadap umat Islam di Indonesia, dengan jalan menolak
penyerahan bulat-bulat kepada nilai-nilai dan norma-norma Barat; baik yang
Kristen maupun yang sekuler.[24]
Juga atas usaha merekalah Islam mulai diajarkan secara utuh untuk diaplikasikan
dalam segala aspek kehidupan termasuk politik, sesuai dengan tuntutan jaman.
Akibatnya cita-cita Kolonial Belanda untuk melenyapkan pengaruh Islam di
Indonesia menjadi sia-sia.
Demikian juga nasib politik westernisasinya yang diarahkan
menuju tercapainya cita-cita asosiasi kebudayaan yang dilancarkan melalui
pendidikan dan pengajaran Barat, walaupun telah menghasilkan cukup banyak
kader-kader Kolonial Belanda berupa para intelegensia sekuler yang walaupun
beragama Islam tetapi hatinya jauh dari Islam, bahkan terkadang telah berani
mencela Islam; akan tetapi sayang, akibat kurang keseriusan dari Kolonial
Belanda sendiri untuk membina mereka lebih lanjut, akhirnya menjadi “senjata
makan tuan”. Sebab pada akhirnya kaum intelegensia hasil didikan Barat tersebut
menjadi lawan-lawan lantang yang menentang “status quo” kolonial dan menjadi
juru bicara nasionalisme Indonesia yang anti Barat. Mereka menuntut tanggung
jawab politik dan keikutsertaan dalam mengambil keputusan mengenai masa depan
Indonesia bersama-sama intelek muslim alumni pesantren dan lulusan Timur Tengah
yang telah bangkit kesadaran politiknya. Oleh karena merasa senasib sebagai
bangsa yang dijajah, maka mereka bekerja sama bahumembahu menentang penjajahan
Belanda atas Indonesia, tanah airnya. Dengan demikian, politik westernisasi
Kolonial Belanda melalui pendidikan dan pengajaran Barat dapat dikatakan
menemui kegagalan, sebab walaupun ramalan Snouck tentang daya tarik pendidikan
Barat terbukti benar, akan tetapi harapan-harapannya bagi asosiasi kebudayaan,
untuk sebagian besar mengecewakan.[25]
Akhirnya, mengenai politik keras dan tegasnya terhadap
gerakan dan doktrin politik Islam pun dapat dikatakan tidak mengenai sasaran.
Meskipun betul, dengan adanya tindakan keras dan tegas terhadap munculnya
gerakan dan doktrin politik Islam telah dapat menciptakan suasana tenang dan
aman bagi jalannya pemerintah Kolonial Belanda khususnya di Pulau Jawa; akan
tetapi hal ini hanya sementara sifatnya. Fenomena sementara itu tercipta hanya
saat Islam dalam keadaan lemah atau sedang dalam kemerosotannya. Apabila saat
kesadarannya datang, fenomena yang sementara sifatnya itu akan hilang segera.
Dalam hal ini Kolonial Belanda ternyata tidak mampu membendung berkembangnya
kesadaran di kalangan umat Islam Indonesia, baik akibat mendapat rangsangan
dari luar maupun akibat pergumulan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh
umat Islam Indonesia itu sendiri.
Dapat dikatakan, Kolonial Belanda “kecele” (kecewa) dalam
menilai gerakan Islam yang tidak bergerak di bidang politik semacam
Muhammadiyah umpamanya. Sikap kolonial yang lunak terhadap Muhammadiyah dan
beberapa organisasi non politik lainnya yang dianggap tidak berbahaya bagi
kolonial adalah keliru besar, memang organisasi Muhammadiyah tidak menjalankan
politik praktis yang dapat mengancam keamanan, akan tetapi hampir semua
aktivitasnya dapat mendorong ke arah tumbuhnya kesadaran berpolitik umat Islam
Indonesia. Padahal dengan tumbuhnya kesadaran di kalangan umat Islam, berarti
ancaman bagi eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia.
Nampaknya Kolonial Belanda dengan sikapnya itu adalah
akibat terlena oleh adanya “modus vivendi” antara kolonial dengan para pemimpin
Islam. Di mana akibat diberikannya kebebasan menjalankan “agama”, terutama
bebasnya menunaikan ibadah haji ke Makkah telah mendapat imbalan dari banyak
kyai dan ulama di Jawa untuk menerima dan tidak menentang pemerintahan
orang-orang kafir Belanda.[26]
Inilah agaknya yang membuat penguasa Belanda di Indonesia menjadi “buta”
terhadap kemungkinan timbulnya bahaya terbukanya komunikasi dengan pusat Islam
di Timur Tengah melalui ibadah haji ke Makkah. Dalam kaitan ini, memang Snouck
telah berusaha menghancurkan mitos bahwa ibadah haji ke Makkah dapat mengubah
ribuan jama’ah haji yang damai menjadi fanatik dan pemberontak.[27]
Sebagian besar para haji memang tidak terkena pengaruh
fanatik di Makkah. Akan tetapi bagaimana pun kebebasan melaksanakan ibadah haji
berarti membuka jalan kepada umat Islam Indonesia untuk menerima pengaruh luar.
Pengaruh luar itulah yang kemudian menjadi penggerak tumbuhnya kesadaran dan
kebangkitan di kalangan umat Islam Indonesia yang akhirnya mengancam
sendi-sendi penjajahan Belanda itu sendiri; sebab adalah tidak mungkin
aparat-aparat pemerintah kolonial akan mampu mengawasi secara keseluruhan
gerak-gerik jama’ah haji Indonesia di Makkah untuk terhindar dari pengaruh
luar, bagaimana pun ketat dan telitinya pengawasan terhadap mereka. Dengan
demikian, berarti usaha untuk memberlakukan tindakan keras dan tegas terhadap
munculnya gerakan dan doktrin politik Islam menjadi tidak lagi efektif dan
berdaya-guna dalam membendung arus kebangkitan Islam pada awal abad ke-20 yang
notabene akibat pengaruh dari Timur Tengah.
Dari uraian-uraian di atas apabila kita analisa, ada
beberapa faktor yang menyebabkan politik Kolonial Belanda terhadap Islam di
Indonesia melahirkan kenyataan-kenyataan yang berbeda dari harapan-harapannya
semula, yakni:
Pertama: Pendekatan empiris yang dilakukan
Snouck terhadap Islam tidak lengkap dan menyeluruh. Penelitiannya terhadap
Islam hanya terbatas pada unsur-unsur Islam yang lahir pada masa Islam sedang
dalam kemunduran dan kenyataan-kenyataan yang berkembang di kalangan umat Islam
yang terbelakang. Hal inilah yang menimbulkan dangkalnya penilaian Snouck atas
kemampuan Islam. Lebih-lebih lingkungan dan jamannya yang angkuh mendorong pula
bagi sikapnya untuk meremehkan kemampuan Islam sebagai kekuatan yang dapat
membawa kepada kemajuan. Snouck memang tidak pernah menyelidiki “jaman keemasan
Islam” ataupun “jaman renesans Islam” yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan
muridnya Ibnu Qoyim alJauziyah pada abad 8 H (14 M) yang dilanjutkan oleh
tokoh-tokoh pembaharu lainnya. Andaikata Snouck menyelidikinya maka besar
kemungkinan penilaiannya terhadap Islam akan lain.
Kedua: Kolonial Belanda tidak menjalankan
politik yang sudah digariskan oleh Snouck secara sungguh-sungguh. Memang tidak
sedikit unsur-unsur pemerintah kolonial yang tidak sepakat dengan gagasan
Snouck; terbukti dalam usaha merealisir cita-cita asosiasinya dia dapat
dikatakan berjalan sendirian. Sebagaimana dikatakan Bousquet bahwa “pemerintah
Kolonial Belanda tidak mau mempertimbangkan nasehat Snouck tentang penanaman
perasaan asosiasi sebagai bagian dari politiknya terhadap Islam”. Dia
menyesalkan biaya pada sekolah-sekolah pemerintah yang terlalu tinggi sehingga
anak-anak pribumi amat sedikit yang dapat memasukinya,[28]
sehingga peranannya diambil alih oleh lembagalembaga pendidikan pribumi.
Padahal pendidikan dan pengajaran merupakan faktor penting bagi keberhasilan
cita-cita asosiasi. Akibatnya sudah dapat diduga, suatu usaha yang dilakukan
separoh hari akan menemui kegagalan.
Demikianlah nasib yang menimpa politik Kolonial Belanda terhadap
Islam di Indonesia; antara harapan dan kenyataan yang jauh berbeda. Memang
harapan-harapan Kolonial Belanda terhadap politiknya dapat dikatakan terlampau
berlebihan dibanding kerja yang telah diusahakannya. Sebagaimana pencetusnya
yang juga merupakan seorang pemikir idealis menurut H.J. Benda, dia itu seorang
idealis yang tidak sabaran.[29]
Seperti pembaharu-pembaharu politik kolonial sejamannya yang tidak sabar ingin
cepat mewujudkan cita-cita “asosiasi” dan “Indonesianisasi”, sehingga semangat
tidak sabaran itu mendapat perlawanan gigih dari para Administrator Kolonial
Belanda yang konservatif yang tidak rela membagi kekuasaannya demi suksesnya
“Indonesianisasi”. Pendidikan Barat hanyalah langkah awal bagi terwujudnya
cita-cita Kolonial Belanda yang ideal itu, dia harus disusul oleh pemberian
bagian dalam masalah-masalah politik dan administratif tanah jajahan kepada
para ahli waris Indonesia yang berpendidikan Barat. Kalau tidak, akibatnya akan
menjauhkan citacita dari jangkauan, bahkan menjadi senjata makan tuan. Ternyata
demikian adanya.
Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis tarik dari studi
mengenai politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia pada awal abad
ke-20. Adapun kesimpulan-kesimpulan itu adalah sebagai berikut:
1.
Politik Kolonial Belanda terhadap Islam di
Indonesia sejak semula diarahkan untuk melenyapkan pengaruh Islam dari bumi
Indonesia, namun terhalang oleh Islam yang sejak awal perkembangannya sudah
menjadi penghalang paling militant bagi kekuatan-kekuatan asing yang ingin
menjajah dan menguasai Indonesia. Untuk itu, Belanda perlu menguasai
seluk-beluk mengenai Islam (khususnya di Indonesia) agar dapat dengan mudah
merumuskan politik yang tepat dalam menghadapi kekuatan Islam di Indonesia;
maka dicetaklah sarjana-sarjana politikus yang ahli tentang Islam; di antaranya
adalah Dr. C. Snouck Hurgronje.
2.
Kedatangan Snouck ke Indonesia telah mengukir
lembaran baru bagi sejarah Kolonial Belanda dengan konsepnya yang terkenal
“Splitsings Theorie”, suatu politik pemisahan antara agama dan politik dalam
Islam. Keutuhan ajaran Islam dipecah-belah kepada tiga kategori yang
masing-masing dihadapi secara ilmiah dan terencana untuk dilumpuhkan. Semua itu
diarahkan untuk melenyapkan pengaruh Islam dari bumi Indonesia dan di atas
kekalahan Islam itu akan dibangun Hindia Belanda modern dan maju di bawah
naungan kerajaan Belanda (Pax Neerlandica).
3.
Akan tetapi ternyata cita-cita yang muluk itu
tinggal cita-cita, tanpa dapat terwujud dalam realitas, sebab dalam
pelaksanaannya politik yang telah digariskan oleh Snouck itu banyak menemui
rintangan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Rintangan yang datang
dari dalam antara lain adalah kurangnya kesungguhan pemerintah Kolonial Belanda
dalam melaksanakan politik yang sudah digariskan oleh Snouck Hurgronje,
sehingga menjadi senjata makan tuan. Adapun rintangan yang datang dari luar
adalah munculnya kesadaran di kalangan umat Islam Indonesia. Kesadaran yang
lahir karena adanya rangsangan dan pengaruh dari politik yang dijalankan oleh
Kolonial Belanda itu sendiri, maupun mendapat pengaruh dari kebangkitan Islam
di luar negeri.
4.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis akan
menyampaikan sedikit saran kepada siapa saja yang mempunyai minat kepada studi
sejarah. Sejarah mengenai politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia
cukup penting untuk diperdalam dan dikembangkan lebih lanjut. Penulis
menghimbau kepada para cendikiawan muslim, khususnya kepada para sejarawannya
agar meningkatkan secara sungguh-sungguh mengenai Sejarah Islam di Indonesia.
Dalam hal ini, sejarah politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia
merupakan bagian dari Sejarah Islam secara keseluruhan.
Adalah suatu keharusan bagi sejarawan muslim untuk menulis
sendiri Sejarah Islam di Indonesia, sebab kenyataan menunjukkan apabila Sejarah
Islam ditulis oleh orang-orang non Islam keobyektifannya perlu dipertanyakan
dan merupakan tugas para sejarawan muslimlah untuk meluruskannya.
Studi tentang politik Kolonial Belanda terhadap Islam di
Indonesia yang penulis lakukan ini masih jauh dari sempurna dan bukan merupakan
usaha final; dia masih minta diteruskan dan diperdalam lagi aspek-aspeknya;
minta digali nilai-nilai positifnya dan dicampakkan yang negatifnya. Kita harus
belajar dari sejarah, khususnya dari sejarah Islam di Indonesia. Maksudnya agar
Islam di negeri tercinta kita ini tidak lagi terjerumum ke dalam belenggu
penjajahan, baik penjajahan yang bergaya klasik maupun penjajahan model baru,
sebab penjajahan di jaman modern seperti sekarang ini tidak lagi menjajah
secara fisik, tapi mengambil pola ideologis, yaitu menjajah ideologi Islam
secara halus dan terencana dengan jalan memasukkan nilai-nilai kebudayaan Barat
yang sekuler ke Indonesia, baik melalui media massa, film dan sebagainya.
Semoga dengan mempelajari sejarah kita menjadi bijaksana dan waspada. Amien.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik (ed.). Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas,
1974.
Ali, A. Mukti. Alam Fikiran Islam Moderen di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan NIDA,
1971.
Amin, M. Masyhur. HOS Cokroaminoto dan Kebangunan Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Kelompok Studi Batas Kota, 1978.
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980.
Darban, A. Adaby (ed.). Snouck Hurgronje dan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: tp., tt.
Geert, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab
Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto.
Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975.
Jainuri, A. Muhammadiyah
Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Keduapuluh. Surabaya: Bina
Ilmu, 1981.
Kartodirdjo, Sartono; Poesponegoro,
Marwati Djoenoed; Notosusanto, Nugroho. Sejarah
Nasional Indonesia, ed. Soejono, R.P. 6 jld. Jakarta: Balai Pustaka, 1977.
Maarif, A. Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan. Kata
Pengantar oleh Nurcholis Madjid. Jakarta: LP3ES, 1985.
Natsir, M. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Noer, Deliar. Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1982.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
Abad 19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Stoddart, L. Dunia Baru Islam. Terj. M. Muljadi Djojomartono, dkk. Jakarta,
1966.
Suminto, H. Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985.
Zuhri, Saifuddin. Sejarah
Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Cet. ke-3. Bandung:
Al-Ma’arif, 1981.
[1] H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj.
Daniel Dhakidae.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal. 32
[2]
Ibid., hal. 27-28
[3] Sartono Kartodirdjo;
Marwati Djoenoed Poesponegoro; Nugroho
Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia, ed. Soejono, R.P. Jilid 5. Jakarta: Balai Pustaka,
1977, hal. 75
[4] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta:
LP3ES, 1985, hal. 12
[5] A. Adaby Darban, “Snouck Hurgronje: Antara Ilmuwan dan
Arsitek Pelumpuh Islam”, dalam Snouck
Hurgronje dan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: tp. tt.), hal. 47
[6] A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3ES, 1985, hal. 53
[7] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta:
LP3ES, 1985,
hal. 2
[8] H.M. Rosjidi, “Snouck
Hurgronje Seorang Pelopor dalam Mempelajari Islam”, dalam A. Adaby Darban, Snouck Hurgronje dan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: tp., tt. hal. 1
[9] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta:
LP3ES, 1985, hal. 116
[10] H. J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj.
Daniel Dhakidae.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal. 38
[11]
Ibid., hal. 39
[12] A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa
pada Awal
Abad
Keduapuluh. Surabaya: Bina Ilmu, 1981, hal. 19
[13]
H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal. 39
[14]
Ibid., hal. 40
[15] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta:
LP3ES, 1985,
hal. 2
[16]
H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal. 41
[17] A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa
pada Awal
Abad
Keduapuluh. Surabaya: Bina Ilmu, 1981, hal. 20
[18] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta:
LP3ES, 1985, hal. 11
[19] Taufik Abdullah, “Snouck
Hurgronje Memberikan Satu-satunya
Formulasi tentang Politik
Islam”, dalam A. Adaby Darban, Snouck
Hurgronje dan Islam di Indonesia. Yogyakarta: tp., tt. hal. 19
[20] Sartono Kartodirdjo;
Marwati Djoenoed Poesponegoro; Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, ed. Soejono, R.P. Jilid 5. Jakarta:
Balai
Pustaka, 1977, hal. 76
[21] H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj.
Daniel Dhakidae.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal. 345
[22] Ibid., hal. 49
[23] A. Mukti Ali, Alam Fikiran Islam Moderen di Indonesia.
Yogyakarta:
Yayasan NIDA, 1971, hal. 5
[24]
H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal. 72
[25] H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj.
Daniel Dhakidae.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal. 60
[26] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta:
LP3ES, 1985, hal. 51
[27] Ibid., hal. 94
[28] M. Natsir, Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang,
1982, hal. 161
[29]
H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal. 57
Posting Komentar